Christian’s Ahimsa

Pendahuluan:

Ahimsa dalam bahasa Sanskrit berarti ‘tanpa kekerasan’ atau ‘tanpa luka’. Sehingga para penganut ajaran ini menolak segala bentuk kekerasan, diantaranya praktek para vegetarian. Mereka tidak mau makan daging dikarenakan mereka tidak mau melukai binatang yang mereka makan. Ajaran ini berasal dari agama-agama India kuno seperti Hindu, Budha dan secara khusus Jainisme.

Selanjutnya kata Ahimsa ini dipakai dan dipopulerkan oleh Mahatma Gandhi yang menetang pendudukan Inggris di India dengan  perlawanan tanpa kekerasan. Konon Mahtama Gandhi menemukan jati diri gerakan ini dalam sutra-sutra yang ia baca setelah terinspirasi oleh khotbah di Bukit (Mat 5).  Hal ini tepat sepenuhnya … bila kita membaca khotbah di bukit, di situ terlihat berbagai paradoks yang sangat nyata di antaranya:

  • Berbahagialah orang yang lemah lembut hatinya, karena mereka akan menguasai bumi. Pada hal secara empiris jelas terlihat bahwa untuk memperoleh kekuasaan haruslah menggunakan kekuatan bukan kelembutan.

Demikian pula halnya ketika kita membaca penggalan  Mat 5:39-41 berikut ini:

[39]Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. [40] Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. [41] Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil.

Dengan eksposisi yang memadai teks di atas terlihat bahwa yang Yesus ajarkan bukanlah tindakan ‘bodhoh’ dengan tanpa perlawanan karena tidak mampu melawan (seperti halnya kaum minoritas di negeri ini). Melainkan memberi perlawanan dalam bentuk baru yaitu “melawan dengan tanpa kekerasan”.

Misalkan saja ayat 39:

Untuk menampar seseorang didepan kita maka maka secara default bagi orang yang tidak kidal adalah bagian pipi kiri yang akan kita tampar. Jika yang dalam teks ini yang ditampar adalah pipi kanan maka si penampar tentu menggunakan punggung tangan. Pada tradisi Yahudi masa itu, menampar dengan punggung tangan adalah tindakan yang sangat merendahkan martabat yang ditampar. Hal ini biasa dilakukan oleh orang  yang lebih kuat / tinggi status sosialnya kepada yang lebih rendah sebagai upaya mempermalukan dan menindas. Maka jika yang ditampar itu juga memberikan pipi kiri, maka yang terjadi adalah tamparan tamparannya meleset. Atau jika dia mengganti dengan arah yang berlawanan maka yang ada adalah tamparan telapak tangan (bukan punggung tangan), … dan ini berarti tindakan ‘penghormatan’ atau ‘pengakuan martabat’ dari penampar terhadap yang ditampar. Tentu saja upaya itu akan diurungkan oleh penampar … Jadi terlihat di sini kita bisa melakukan perlawanan terhadap penindasan dengan cara yang tepat dan mencerdaskan.

Demikian pula ayat 40 :

Konteks ayat ini adalah suasana dalam pengadilan, jika seorang penuntut melakukan dakwaan kepada fihak tertuntut guna memperoleh baju (yang biasanya di balut oleh jubah luar), maka kepada pendengar (tertuntut) sebaiknya memberikan sekalian jubahnya. Jika hal ini terjadi maka si tertuntut akan mempermalukan penuntut yang tega menelanjanginya di hadapan persidangan. Sekali lagi maka fihak penuntut mau tidak mau akan membatalkan niatnya, terkecuali dia hendak mendapat rasa malu yang besar. Sekali lagi ini adalah upaya cerdas dalam menghadapi tindakan kekerasan.

Juga ayat 41:

Konteks ayat ini adalah dalam pendudukan Romawi. Pada masa itu, tentara penjajah bisa saja meminta seorang warga terjajah untuk berjalan kaki dan membawakan beban atau menuntun binatang tunggangan yang mereka tumpangi guna menunjukkan wewenangnya (Ingat kasus Simon dari Kirene yang diminta memikul salib Yesus, Mat 27:32)[1]. Tuhan Yesus mengajarkan, jika seseorang mengalami penindasan seperti itu, maka sebaiknya memberi diri dengan sukacita untuk berjalan dua mil. Kira-kira jawaban yang harus diberikan adalah: “Aku akan memberikan diriku berjalan dua mil”. Ini dilakukan dengan penuh sukarela dan kebebasan, bukan karena keterpaksaan atau ketakberdayaan. Tentu orang orang tersebut bisa menolak dan akhirnya terjadi pertengkaran dan kekerasan. Namun Tuhan Yesus mengajarkan kepada kita untuk menggunakan pilihan cerdas tinimbang melakukan tindakan kekerasan yang lebih jelek hasilnya.

Sikap damai, anti-kekerasan, berpegang pada kebenaran juga tampak dalam hari-hari penderitaan Yesus yang dicatat dengan amat rinci oleh keempat Injil. Saat Petrus hendak melawan prajurit-prajurit Imam Agung dengan pedang, Yesus mengatakan, “Sarungkanlah pedangmu. Barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang”. Saat Yesus ditolak oleh seluruh bangsa di hadapan Pilatus dan dinilai lebih rendah daripada Barabas, residivis kelas kakap, dia diam seribu bahasa (Mat 27,21-25). Saat orang menghujat Yesus di kayu salib, dia justru memohon kepada Bapa, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Luk 23,34). Pada saat-saat kritisnya, dia juga mengampuni perampok yang disalibkan bersamanya (Luk 23,43). Nada damai (shallom) tersebut tetap bergema dan menjadi sapaan khas yang diucapkan Yesus sesudah bangkit, “Damai sejahtera bagimu” (Luk 24,36), “Salam bagimu” (Mat 28,9), “Damai sejahtera bagi kamu” (Yoh 20,19.21).

Jelaslah bahwa seluruh hidup, sengsara, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus membawa gaya hidup baru yang bercirikan damai, anti-kekerasan, dengan tetap berpegang pada kebenaran. Hamba Yahweh yang terekam dalam Yes 53 dengan akurat  telah digenapi dalam diri Yesus secara sempurna.

Hal inilah yang menginspirasi Gandhi dalam melakukan gerakannya dalam melawan kolonialisasi pemerintahan Inggris. Khotbah di Bukit yang menjadi kegemarannya dan ke tiga ayat di atas yang menjadi landasannya. Berikut ini petikannya dalam sebuah wawancara:

Namun perjanjian Baru, memberi kesan yang berbeda, terutama Khotbah diatas Bukit yang amat berkesan dihatiku. Aku membandingkannya dengan Gita. Pada ayat : “Tetapi Aku katakan padamu, janganlah engkau melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena menginginkan bajumu, serahkanlah juga jubahmu” (Matius 5:39-40) luar biasa menggembirakan hatiku dan mengingatkanku pada ungkapan Shamal Bhatts “Seperti semangkuk air menambah kelezatan makan”. (The Story of My Experiment with Truth, Part I, Chap XX)[2]

Namun ketika Gandhi mendapat pertanyaan “apakah tindakan Ahimsa itu bukjan merupakan suatu bukti ketidakberdayaan ataupun bentuk pasifisme ??” Ia menjawab:

Nilai nilai belas kasihan, anti kekerasan, cinta kasih dan kebenaran dalam diri setiap orang hanya dapat benar-benar teruji pada saat mereka melawan kezaliman, kekerasan, kebencian dan kesalahan.

Jika ini benar, maka adalah salah untuk mengatakan bahwa AHIMSA tidak dapat digunakan menghadapi pembunuhan. Hal ini benar-benar dapat dikatakan bahwa melakukan Ahimsa dalam menghadapi pembunuh adalah untuk membiarkan diri sendiri binasa. Tetapi ini ujian yang sesungguhnya dari Ahimsa. Bagaimanapun juga, orang yang terbunuh semata-mata karena tidak berdaya, belum tentu melakukan Ahimsa. Seseorang yang saat ditendang tidak menjadi marah dan melawan, bahkan meminta Tuhan untuk memaafkan mereka adalah tindakan anti kekerasan sebenarnya. Sejarah berhubungan dengan Yesus Kristus.

Dalam menghadapi kematian di atas kayu salib, Ia masih mampu mengatakan, “Bapa ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat”.(Harijan, 28 April 1946)[3]

Kalau Gandhi saja mampu menangkap dan menghidupi khotbah di bukit, seharusnya kita juga mampu menunjukkan sikap serupa karena kita telah belajar melalui Tuhan Yesus dan Mahtama Gandhi. Martin Luther King Jr, Mandella dan beberapa orang lain lagi telah melakukannya, kenapa kita tidak??


[1] Pada masa itu juga ada praktek budaya bahwa seorang komandan berhak melakukan tindakan pendisiplinan dengan meminta anak buahnya meminta anak buahnya berjalan satu mil. Sayangnya hal ini sering digunakan untuk menindas anak buah

[2] Robert Elberg (ed), Gandhi On Christianity, (Yogyakarta: LKiS, 2004), 22.

[3] Ibid. 65.

4 Komentar

  1. Eddy said,

    Januari 22, 2008 pada 2:53 am

    Satu permenungan yang indah yang membuat pembaca menunggu-nunggu.
    Di kebiasaan orang Betawi mirip dengan Yahudi, tamparan yang sekaligus menghinakan adalah menampar dengan punggung tangan.
    Aku mau tanya nich…. apakah asal kata yang dipakai sama antara menampar dengan punggung tangan dengan menampar dengan telapak tangan?…. dan jika menggunakan kata menampar apakah dapat diartikan satu penghormatan?

    Di seni beladiri China ada ilmu yang ampuh dengan intinya meminjam tenaga lawan untuk menghindar dan sekaligus menyerang, mereka yang dapat melakukan ini haruslah mereka yang sudah menyelesaikan dasar kanuragan… apakah untuk bisa berahimsa kristiani juga ada tahapan yang harus dilewati?

    Trims

  2. cbodho said,

    Januari 22, 2008 pada 7:38 am

    Hello mas Eddy,
    Senang sampeyan sudi mampir :). Dengan modal cekak CB coba jawab yaa ..

    Kata menampar (Yun: rhapizo) digunakan baik untuk punggung maupun telapak tangan. Tetapi secara umum (normal) digunakan telapak tangan. Jika sso menampar dengan punggung tangan itu sudah double penghinaannya.

    Mengenai Taichi (Cina) atau Aikido (Jepang) yang dibutuhkan adalah penyelarasan diri dengan sekitar termasuk lawan, tentu mempunyai sinkang dalam level tertentu.

    Kalau Taichi Rohani, sinkang yang dimaksud adalah kemampuan mengendalikan emosi dengan menempatkaan diri kita pada posisi the Lowest State. Pada posisi ini kita dihina dan dilecehkan macam apapun tidak akan merasa terhina , karena posisi kita sudah pada posisi lowest. The Lowest can not be lower bukan ?? Itu sungguh TIDAK MUDAH paling2 CB baru sampai tingkatan 2 dari 10 bagian yang dibutuhkan.

    Kalau hal itu sdudah dimiliki tinggal dibutuhkan kemampuan mencerdaskan ‘lawan’ kita tadi.

    Selamat belajar menjadi Satyagrahist
    CB

  3. Daniel Zacharias said,

    Februari 5, 2008 pada 5:52 pm

    Mas … mas udah aku bilang Ahimsa gak usah pakai Kristen emang udah Kristen … sama dengan mengatakan Teologi Kontekstual padahal sudah dari sononya teologi itu yah mesti kontekstual … bah …!

  4. cbodho said,

    Februari 6, 2008 pada 2:19 am

    Wah sudah jadi batak pula si Lae ini ha-ha-ha.
    Ada beberapa alasan kenapa dipilih judul itu:
    1. Untuk membedakan dari Ahimsa sebelum jaman Gandhi, mungkin saja Gandhi menemukannya dari Khotbah di Bukit tetapi bisa jadi dari background Hinduism yang dia pegang sejak kecil. Bahkan bagi beberapa teman Budhist dan Hindu, tradisi Yudaik yang akhirnya mewarnai teologi zaman Yesus itu hasil asimilasi dari tradisi Hindu/Budhist tsb. Saya yakin sampeyan tahu itu 🙂
    2. Supaya kalau ada orang googling dengan kata Christian atau Ahimsa nyangkut di blog ane.
    3. Supaya sampeyan ngasih komentar ….

    Paling tidak 2 dari 3 tujuan ane tercapai bukan …

    Matur nuwun untuk ‘sentilan’ sampeyan. Aku tambahkan blog sampeyan tanpa izin … klo harus bayar royalty nanti ketemuan dech.

    Salam


Tinggalkan komentar